Cerita Titipan dari Timba Mencari Sumur
Betapa mahalnya ongkos pendidikan bagi
sebuah negara miskin; tapi juga betapa omong kosongnya sistem itu untuk
menghilangkan jurang kemiskinan tersebut.
-jagokata.
Setelah terbangun dari tidurku, teringat mimpi nikmatnya
menjadi seorang mahasiswa.Kemudian aku berjalanan dari tempat tidur menuju meja yang
berada di sudut kamar, mengambil ponsel sembari berharap dapat merasakan kabar
baik. Selepas melihat ponsel aku termenung, sedih, dan kesal yang sesak, sebab Melihat
kabar kurang baik dari pesan pertama yang masuk di ponselku, pesan itu berupa
pdf pemberitahuan tentang “kebijakan Uang Kuliah Tunggal(UKT)”.
UKT atau Uang Kuliah Tunggal menjadi perbincangan hangat
tahunan di lingkungan kampus, bagaimana tidak ini adalah peraturan pemerintah.
Setelah itu akupun kembali termenung dan berfikir untuk
memulainya kembali. Selama hampir tiga tahun aku duduk di bangku perguruan tinggi,
aku hanya memegang identitas sebagai seorang mahasiswa. Tetapi, tidak menjadi
mahasiswa yang sebenarnya.
Subuh pun berlalu, aku mulai bergegas menuju kampus, aku melihat
mahasiswa-mahasiswa lainnya. Ada yang tersenyum ada pun yang termenung.
Ternyata yang tersenyum itu, adalah adik-adik yang baru mendaftar untuk masuk
perguruan tinggi.
Akhirnya aku pun sampai di fakultas yang sudah hampir tiga
tahun aku menimba ilmu di situ. Tapi entahlah, aku merasa saat aku menimba, air
dalam sumur itu begitu kumuh dan berlumut, talinya sudah mau putus, dan
embernya pun sudah bayak bocor.
Aku melihat ruang diskusi di sudut fakultas, aku pun mencoba
menelaah isi pembahasan di lingkaran itu, dalam diskusi ini apa yang menjadi
bahan perbincangan? Tiba-tiba seorang mahasiswa menjawab, ini soal surat
keputusan Uang Kuliah Tunggal (UKT), aku pun bingung dan berfikir, bagaimana
dengan mereka mahasiswa baru yang begitu semangat masuk di perguruan tinggi
tapi terhalang dari besaran uang kuliah mereka? Bagaimana dengan mereka yang
sudah menuju semester selanjutnya melihat besaran UKT-nya yang tidak sesuai
dengan kondisi ekonomi? Dan apakah mahasiswa akhir masih dituntut untuk membayar
full ukt pada tahun ini?. Jawaban nya jelas bahwa perlu ada evaluasi golongan UKT
mahasiswa (dalam hal ini sesuaikan dengan kondisi ekonomi).
Setelah itu hatiku kembali bersedih dan mulai lagi melangkah
menuju rumah, tenaga demi tangga aku lalui, wajah-wajah mahasiswa lama dan
mahasiswa baru terlihat olehku. Banyaknya mahasiswa termenung.
Hati dan pikiran pun kembali bergejolak, darah mulai mengalir
sangat deras, jantung pun berdetak sangat kencang, namun itu bukanlah gerakan kasih
sayang dari pecinta, tapi itu adalah rasa keresahan yang begitu resah dan
amarah yang begitu dalam. Kenapa menjadi seorang mahasiswa harus bergantung
pada besaran itu, bukankah Mahasiswa sebagai representasi dari Hati dan Jiwa
masyarakat sebagaimana dikatakan Moh. Hatta dan seharusnya menjadi tanggung
jawab moral lembaga pendidikan tinggi khususnya untuk mencetak generasi bangsa
melalui Ilmu Pengetahuan yang ada dan memiliki jiwa besar untuk memperjuangkan
hak-hak kaum lemah, saat ini justru ditelan dan diberhanguskan oleh kampus.
Presiden dapat kalian lengserkan dan turunkan, tapi
mengapa orang-orang itu malah kalian diamkan. Apakah demi sebuah kertas yang
bertuliskan nilai sehingga merelakan identitasmu sebagai mahasiswa?
Sungguh ironis dengan negara bergelimang kekayaan alam,
minyak batu bara, emas, hutan, laut, serta beragam kekayaan lainnya. berjuanglah
dan berikan mimpi indah kepada mereka generasi selanjutnya.
"Bermimpilah
setinggi langit. Jika kamu jatuh, kamu akan jatuh di antara
bintang-bintang." -Bung Karno.